mereview kembali
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pembunuhan bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia,
pembuhuhan legal yang sampai kini masih menjadi kontroversi. Bukan hanya
dinegara-negara Barat, tapi juga telah merambah ke wilayah Timur, bahkan juga
di Indonesia. Pembunuhan yang dilegalkan ini pun ada bermacam-macam jenisnya.
Secara umum, kematian adalah sebuah hal yang sangat ditakuti
oleh publik umum. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau
kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi
sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi
sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia
memungkinkan hal tersebut terjadi.
Euthanasia ialah tindakan mengakhiri hidup seorang individu
secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai
bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri
hidupnya.
Sedangkan Penyakit AIDS sangat ditakuti
masyarakat, bukanlah merupakan penyakit “kutukan Tuhan” sebagaimana pandangan
sebagian masyarakat. Melainkan penyakit biasa sebagaimana penyakit-penyakit
lainnya penyakit HIV/AIDS ditakuti oleh masyarakat karena penyakit tersebut
belum ada obatnya. Penyakit tersebut muncul dikarenakan perbuatan manusia yang
melanggar terhadap syari’at yang telah ditetapkan.
Sedangkan
penyakit AIDS sangat ditakuti masyarakat, bukanlah merupakan penyakit “kutukan
Tuhan” sebagaimana pandangan sebagian masyarakat. Melainkan penyakit biasa
sebagaimana penyakit-penyakit lainnya penyakit HIV/AIDS ditakuti oleh
masyarakat karena penyakit tersebut belum ada obatnya. Penyakit tersebut muncul
dikarenakan perbuatan manusia yang melanggar terhadap syari’at yang telah
ditetapkan.
Sejak
ditemukannya pertama kali di Bali pada tahun 1987, jumlah kasus HIV & AIDS
di Indonesia cenderung terus meningkat. HIV bukan saja pada kalangan penjaja
seks, jarum suntik dan gay, tetapi juga pada bayi, remaja, perempuan dan
laki-laki yang taat pada agama, petugas kesehatan, dan orang-orang pada
umumnya. Orang dengan HIV & AIDS sering dikategorikan sebagai orang yang
mendapatkan virus HIV karena perbuatan yang secara moral tidak benar. Mereka
sering mendapatkan stigma sebagai pembuat dosa karena kutukan Tuhan. Mereka
juga sangat rentan terhadap diskriminasi, karena masih adanya ketidaktahuan
bahwa HIV & AIDS tersebut dapat menular karena kontak sehari-hari seperti
berjabat tangan atau bergantian tempat duduk. Hal ini mengakibatkan mereka
sering diasingkan. Penyebab utama dari stigma dan diskriminasi ini adalah
karena masyarakat tidak menerima informasi yang benar tentang HIV & AIDS
baik dari sudut pandang agama, kesehatan, maupun non agama.
1.2
Rumusan Masalah
1)
Apa
yang di maksud dengan ETHANASIA itu?
2)
Ada
berapa macam ETHANASIA yang dimaksuud disini?
3)
Bagaimana
pandangan agama islam terhadap tindakan ETHANASIA?
4)
Apa pengertian Pengertian HIV/AIDS ?
5)
Bagaimana Pandangan Agama islam Terhadap
HIV/AIDS ?
6)
Apa Hukum HIV/AIDS ?
1.3 Tujuan Penulis
1)
Untuk
mengetahui pengertian ETHANASIA
2)
Untuk
mengetahui macam-macam ethanasia
3)
Untuk
mengetahui pandangan agama islam terhadap tindakan ethanasia
4)
Untuk
Mengetahui Pengertian HIV/AIDS.
5)
Untuk
Mengetahui Pandangan Islam Terhadap HIV/AIDS.
6)
Untuk Mengetahui Hukum HIV/AIDS.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Euthanasia
Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία
-ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang
berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui
cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit
yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang
mematikan.Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir
al-maut.Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan.Juga
berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan
hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Hippokrates pertama
kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates"
yang ditulis pada masa 400-300 SM.Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak
akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun
meskipun telah dimintakan untuk itu".
1.2 Macam-Macam Euthanasia
·
Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
1.
Eutanasia
agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya
untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia
agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang
mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa
mematikan tersebut adalah tablet sianida.
2.
Eutanasia
non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)
digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang
pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis
meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil"
(pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu
praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
3.
Eutanasia
pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan
seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa
contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien
yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada
penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan
mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara
terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa
dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki
kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan
menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang
tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah
sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya
meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif
medis.
·
Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin
Ditinjau
dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga
yaitu :
1.
Eutanasia di
luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan
keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat
disamakan dengan pembunuhan.
2.
Eutanasia
secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi
bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun
juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak
untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari
si pasien. Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali
mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
3.
Eutanasia
secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal
ini juga masih merupakan hal kontroversial.
·
Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
1.
Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
2.
Eutanasia hewan
3.
Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada
eutanasia agresif secara sukarela.
1.3 Pandangan Islam Terhadap Euthanasia
Dalam
Pandangan Islam Secara Global Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan
anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati
Dalil-dalil yang menjelaskan tentang euthanasia
v Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu,
kemudian menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat
mengingkari ni`mat.(QS.Al-Hajj
:066)
v Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung
halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka
Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah
menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia
tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.(QS. Al-Baqarah: 243).
Oleh karena itu, bunuh diri
diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun
Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada
sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut,
وَأَنفِقُواْ
فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
وَأَحْسِنُوَاْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
v "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS Al-Baqarah: 195),
dan dalam ayat lain
disebutkan,
v "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS
An-Nissa’: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling
berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh
seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Pada
konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga .
Dalam Pandangan Syariah Islam Secara Detail Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala
persoalan di segala waktu dan tempat
Berikut
ini solusi syariah terhadap euthanasia
1.
Euthanasia Aktif
Syariah islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik
yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram,walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya sendiri.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT:
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT:
v “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar.” (QS Al-An’aam:151)
v Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang
mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) (QS
An-Nisaa` : 92)
Dari
dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa
besar. Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita),
tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain
yang tidak diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
v “Telah diwajibkan atas kamu qishah berkenaan dengan
orang yang dibunuh (QS Al-Baqarah 178)”
Dengan
mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan
manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu
pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang
muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun
penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan
atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
2. Euthanasia Pasif
Adapun hukum
euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien.
Bagaimanakah
hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180)
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180)
Menurut
Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya
untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan
itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara
hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan
Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah
(al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan
menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidahushul:Al-Ashlu fi al-amri
li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani,1953).Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani,1953).Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya
ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam
pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit
ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada
Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan
akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia
berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu
berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum,1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya? Jawabannya adalah boleh jika memang tidak tersembuhkan lagi menurut kedokteran.
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum,1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya? Jawabannya adalah boleh jika memang tidak tersembuhkan lagi menurut kedokteran.
3.
Dasar Kebolehan
Di antara
yang mendasari kebolehan melakukan euthanasia pasif, yaitu tindakan mendiamkan
saja si pasien dan tidak mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan
sebagain ulama. Yaitu bahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak
sepenuhnya wajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegang oleh imam-imam
mazhab.Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini hanya berkisar
pada hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama sepakat mengatakan bahwa
hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari para ulama itu tetap
mewajibkannya. Misalnya apa yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i
dan Imam Ahmad bin Hambal, juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam
Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan mengupayakan
kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab(sunnah).
4.
PerbedaanPendapat
Para ulama
bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu
lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih
dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi.
Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma. Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan kedua-- berpendapat wajib.
Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma. Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan kedua-- berpendapat wajib.
Dalam hal
ini kami sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah,
obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah
Ta`ala. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat
dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam
Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi
saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena
itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila penderita
dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh,
sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan
dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun
yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian --kalau boleh diistilahkan demikian-- di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.
Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut.
Disisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya. Wallahu a’lam.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian --kalau boleh diistilahkan demikian-- di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.
Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut.
Disisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya. Wallahu a’lam.
1.4 Pengertian
HIV dan AIDS.
Acquired Immune Deficiency Syndrome,
secara harfiah Acquired artinya didapat bukan keturunan. Immune artinya sistem
kekebalan. Deficiency adalah kekurangan, dan Syndrome yakni kumpulan gejala
penyakit. Sedangkan secara terminologi AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit
yang menyerang dan atau merusak system kekebalan tubuh manusia melalui HIV
(Human Immune Virus).
AIDS disebabkan salah satu kelompok
virus yang disebut dengan retroviruses yang sering disebut dengan HIV.
Seseorang yang terkena atau terinfeksi HIV AIDS sistem kekebalan tubuhnya akan
menurun drastic. Virus AIDS menyerang sel darah putih khusus yang disebut
dengan T-lymphocytes. Tanda pertama penderita HIV biasanya akan mengalami demam
selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh. Setelah kondisi membaik
orang yang terinfeksi HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan secara
perlahan kekebalan tubuhnya akan menurun karena serangan demam yang berulang.
Sampai saat ini belum ada vaksin yang mampu mencegah HIV( mungkin hanya sebatas mencegah penyebarannya melalui ARV). Orang yang terinfeksi HIV akan menjadi karier selama hidupnya,
firman Allah SWT. yang berbunyi:
Sampai saat ini belum ada vaksin yang mampu mencegah HIV( mungkin hanya sebatas mencegah penyebarannya melalui ARV). Orang yang terinfeksi HIV akan menjadi karier selama hidupnya,
firman Allah SWT. yang berbunyi:
v “dan
sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit kelaparan, ketakutan,…dan
berikanlah berita gembira bagi orang-orang sabar.” (Al-Baqarah:155)
1.5 Pandangan
islam terhadap HIV dan AIDS
Bagaimana sesungguhnya sikap Islam
terhadap kasus HIV & AIDS dan terhadap orang dengan HIV & AIDS ?. Islam
yang oleh para pemeluknya sering dinyatakan sebagai agama yang selalu relevan
untuk dapat menjawab segala problem sosial kemanusiaan tentu sangat diharapkan
bisa memberikan kontribusi positif bagi bangsa guna memecahkan persoalan yang
sangat krusial ini.
Kemajuan iptek telah menimbulkan pola
dan gaya hidup baru yang bersumber pada doctrine of permissiveness yang
kemudian melahirkan permissive society, hal tersebut tercermin pada pola dan
gaya hidup misalnya : perdagangan seks, pengesahan perkawinan sesama jenis,
pameran seks, pornografi, legalisasi aborsi tak bertanggung jawab, dan
seterusnya. Allah SWT berfirman:
“maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan, kami pun membuka semua pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam terdiam berputus asa.” (Al-An’am:44)
HIV terutama terdapat di dalam darah, air mani, dan cairan vagina. Penularannya melalui:
• Hubungan seksual dengan pengidap HIV (homo atau heteroseksual)
• Transfusi darah yang mengadung HIV
• Alat suntik bekas pengidap HIV : tindik, tattoo, narkoba (IDU), injeksi, dan lain-lain
• Dari ibu hamil kepada janinnya.
Hadits Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Arba’ah:
“berobatlah hai hamba Allah, karena Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali diturunkan pula obatnya, kecuali penyakit yang satu (pikun).”
Islam memberikan tuntunan dalam pengobatan HIV/AIDS yakni secara fisik, psikis.
“maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan, kami pun membuka semua pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam terdiam berputus asa.” (Al-An’am:44)
HIV terutama terdapat di dalam darah, air mani, dan cairan vagina. Penularannya melalui:
• Hubungan seksual dengan pengidap HIV (homo atau heteroseksual)
• Transfusi darah yang mengadung HIV
• Alat suntik bekas pengidap HIV : tindik, tattoo, narkoba (IDU), injeksi, dan lain-lain
• Dari ibu hamil kepada janinnya.
Hadits Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Arba’ah:
“berobatlah hai hamba Allah, karena Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali diturunkan pula obatnya, kecuali penyakit yang satu (pikun).”
Islam memberikan tuntunan dalam pengobatan HIV/AIDS yakni secara fisik, psikis.
Secara fisik melalui
medis dan sejenisnya hingga yang terbaru ARV (AntiRetroviral) secara psikis
melalui kesabaran, taubat, taqarrub ilallah (dzikrullah), dan berdoa, sedangkan
secara social melalui penerimaan dan dukungan penuh masyarakat terutama
keluarga.
Media utama penularan HIV/AIDS adalah seks bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas itu sendiri. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan Islam yang menyeluruh dan komprehensif, dimana setiap individu muslim dipahamkan untuk kembali terikat pada hukum-hukum Islam dalam interaksi sosial (nizhom ijtima’i/aturan sosial)
Media utama penularan HIV/AIDS adalah seks bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas itu sendiri. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan Islam yang menyeluruh dan komprehensif, dimana setiap individu muslim dipahamkan untuk kembali terikat pada hukum-hukum Islam dalam interaksi sosial (nizhom ijtima’i/aturan sosial)
Seperti larangan
mendekati zina dan berzina itu sendiri, larangan khalwat (beruda-duaan laki
perempuan bukan mahram, seperti pacaran), larangan ikhtilat (campur baur laki
perempuan), selalu menutup aurat, memalingkan pandangan dari aurat, larangan
masuk rumah tanpa izin, larangan bercumbu di depan umum, dll. Sementara itu,
kepada pelaku seks bebas, segera jatuhi hukuman setimpal agar jera dan tidak
ditiru masyarakat umumnya. Misal pezina dirajam, pelaku aborsi dipenjara, dll.
Di sisi lain, seks bebas muncul karena maraknya rangsangan-rangsangan syahwat. Untuk itu, segala rangsangan menuju seks bebas harus dihapuskan. Negara wajib melarang pornografi-pornoaksi, tempat prostitusi, tempat hiburan malam dan lokasi maksiat lainnya. Industri hiburan yang menjajakan pornografi dan pornoaksi harus ditutup. Semua harus dikenakan sanksi. Pelaku pornografi dan pornoaksi harus dihukum berat, termasuk perilaku menyimpang seperti homoseksual.
Sementara itu, kepada penderita HIV/Aids, negara harus melakukan pendataan konkret. Negara bisa memaksa pihak-pihak yang dicurigai rentan terinveksi HIV/AIDS untuk diperiksa darahnya. Selanjutnya penderita dikarantina, dipisahkan dari interaksi dengan masyarakat umum. Karantina dimaksudkan bukan bentuk diskriminasi, karena negara wajib menjamin hak-hak hidupnya. Bahkan negara wajib menggratiskan biaya pengobatannya, memberinya santunan selama dikarantina, diberikan akses pendidikan, peribadatan, dan keterampilan.
Di sisi lain, seks bebas muncul karena maraknya rangsangan-rangsangan syahwat. Untuk itu, segala rangsangan menuju seks bebas harus dihapuskan. Negara wajib melarang pornografi-pornoaksi, tempat prostitusi, tempat hiburan malam dan lokasi maksiat lainnya. Industri hiburan yang menjajakan pornografi dan pornoaksi harus ditutup. Semua harus dikenakan sanksi. Pelaku pornografi dan pornoaksi harus dihukum berat, termasuk perilaku menyimpang seperti homoseksual.
Sementara itu, kepada penderita HIV/Aids, negara harus melakukan pendataan konkret. Negara bisa memaksa pihak-pihak yang dicurigai rentan terinveksi HIV/AIDS untuk diperiksa darahnya. Selanjutnya penderita dikarantina, dipisahkan dari interaksi dengan masyarakat umum. Karantina dimaksudkan bukan bentuk diskriminasi, karena negara wajib menjamin hak-hak hidupnya. Bahkan negara wajib menggratiskan biaya pengobatannya, memberinya santunan selama dikarantina, diberikan akses pendidikan, peribadatan, dan keterampilan.
Di sisi lain, negara
wajib mengerahkan segenap kemampuannya untuk membiayai penelitian guna
menemukan obat HIV/Aids. Dengan demikian, diharapkan penderita bisa
disembuhkan.
Stigma negative dan diskriminasi terhadap Penderita HIV-AIDS (ODHA) tidak dibenarkan dalam ajaran islam. Menurutnya, diskriminasi terhadap ODHA merupakan bentuk pengingkaran terhadap ajaran islam. “Islam tidak membenarkan adanya stigma dan diskriminasi dalam kondisi apapun dan kepada siapapun. Dikatakan Junaidi Hidayat, ODHA merupakan orang yang harus diperlakukan selayaknya masyarakat umum. Diskriminasi terhadap ODHA dapat berarti bahwa pelaku diskriminasi adalah orang yang tidak menghargai kekuasaan tuhan.
Sekarang tinggal lagi peran aktif masyarakat, ulama, pemuda-pemudi, orang tua, dan organisasi sosial lainya untuk bergandengan tangan melawan penyebaran virus kutukan tersebut, membekali anak remaja dengan iman dan ulama juga ikut menyiarkan ketika berceramah di mesjid. Dan pertemuan ini juga salah satu jalan untuk dapat memberikan kesepahamam yangt terhadap persoalan HIV di Sumatera Barat.
“Hanyalah Allah SWT yang (punya kewenangan) membedakan derajat manusia tergantung tingkat ketaqwaannya maka menabur kebaikan sama sekali tidak ada hubungan dengan ODHA dengan tidak ODHA. ODHA pun masih berkesempatan menjadi seorang muslim yang baik, sama seperti muslim lainnya.
Stigma negative dan diskriminasi terhadap Penderita HIV-AIDS (ODHA) tidak dibenarkan dalam ajaran islam. Menurutnya, diskriminasi terhadap ODHA merupakan bentuk pengingkaran terhadap ajaran islam. “Islam tidak membenarkan adanya stigma dan diskriminasi dalam kondisi apapun dan kepada siapapun. Dikatakan Junaidi Hidayat, ODHA merupakan orang yang harus diperlakukan selayaknya masyarakat umum. Diskriminasi terhadap ODHA dapat berarti bahwa pelaku diskriminasi adalah orang yang tidak menghargai kekuasaan tuhan.
Sekarang tinggal lagi peran aktif masyarakat, ulama, pemuda-pemudi, orang tua, dan organisasi sosial lainya untuk bergandengan tangan melawan penyebaran virus kutukan tersebut, membekali anak remaja dengan iman dan ulama juga ikut menyiarkan ketika berceramah di mesjid. Dan pertemuan ini juga salah satu jalan untuk dapat memberikan kesepahamam yangt terhadap persoalan HIV di Sumatera Barat.
“Hanyalah Allah SWT yang (punya kewenangan) membedakan derajat manusia tergantung tingkat ketaqwaannya maka menabur kebaikan sama sekali tidak ada hubungan dengan ODHA dengan tidak ODHA. ODHA pun masih berkesempatan menjadi seorang muslim yang baik, sama seperti muslim lainnya.
1.6 Cara mencegah HIV/AIDS,
Yang harus dilakukan
bukan kampanye seks yang aman, atau membagi-bagikan kondom gratis, juga bukan
berhenti pada sekedar mengasihi siapa saja yang terkena virus itu. Semua itu
tidak akan ada gunanya dan tidak akan mengubah apa pun. Yang harus dilakukan
sekarang ini adalah hal-hal berikut ini:
1.
Menghentikan semua tayangan seks dan
yang sejenisnya di semua stasiun TV dan media, baik cetak maupun elektronik.
Termasuk keberadaan para banci di semua programnya, baik sebagai penyanyi,
pelawak atau pun pemain sinetron/film.
2.
Mengganti semua anggota LSF dengan
korban-korban AIDS/HIV yang sudah merasakan langsung dampak negatifnya dan
mengerti bahwa diri mereka adalah korban seks bebas. Yang demikian itu agar
lembaga ini mau bekerja dengan hati nurani yang paling dalam, bukan sekedar
stempel formal yang bergigi ompong
3.
Mencabut semua izin lokalisasi baik yang formal
dan informal.
4.
Mengganti semua tempat hiburan mesum dengan
jenis usaha yang halal dan bermanfaat positif buat masyarakat.
5.
Menutup semua bentuk kehidupan malam yang
hedonis, baik yang ada izinnya atau yang liar.
6.
Menutup semua jalur produksi dan distribusi
keping-keping VCD porno, semi porno, berbau porno, nyaris porno, hampir porno,
setengah porno, atau nyerempet porno dan segala variannya.
7.
Mengganti semua aparat yang melindungi
pornografi dengan aparat yang masih punya idealisme sejati. Sebab semua
pusat-pusat pornografi itu sudah ada datanya di tangan aparat dan juga
masyarakat, hanya saja aparat tidak punya nyali untuk menutupnya. Mungkin
karena sahamnya dimiliki oleh orang ''kuat'' yang lebih kuat dari aparat, atau
dilindungi oleh ''atasannya'' aparat.
8.
Menghentikan semua bentuk penyuluhan sesat tentang
HIV/AIDS, seperti membagikan kondom gratis, atau mengajarkan seks (zina) yang
aman. Karena program seperti ini tidak pernah berguna dan tidak ada artinya.
Sama saja menahan serangan tsunami dengan sekarung pasir. Seharusnya kalau tahu
akan ada tsunami, lebih baik segera pindah cari tempat yang lebih tinggi
menjauhi pantai. Karena tidak ada tsunami yang aman untuk dihadapi, sebagaimana
tidak ada zina yang aman untuk dikerjakan.
9.
Membuat undang-undang anti pornografi serta
melengkapinya dengan peraturan-peraturan teknisnya hingga sampai bentuk-bentuk
hukumannya. Segera saja berhenti dari berdebat tentang definisi pornografi yang
tidak ada habisnya, sebab tukang becak di pinggir jalan pun tahu apa itu gambar
porno.
10. Menghukum mati para pezina muhshan dengan
disaksikan oleh semua pemirsa TV di negeri ini dengan siaran langsung. Tentunya
setelah melalui proses pengadilan yang sah dan formal
11. Bertobat nashuha, mulai dari rakyat serta
pejabat, atas sikap masa bodohnya dengan penyebaran paham seks bebas selama ini
dengan berkedok kepada kebebasan seni dan ekspresi.
Kalau semua tindakan di atas sudah kita lakukan, boleh-lah kita berharap obat anti AIDS/HIV ditemukan oleh manusia. Tapi selama hal di atas masih berupa wacana, apalagi masih jadi perdebatan, maka korban-korban akan terus berjatuhan, bukan hanya pelaku zina, tetapi azab itu akan terus menerus merenggut nyawa manusia yang tidak berdosa, lewat berbagai cara penularannya yang dahsyat.
Kalau semua tindakan di atas sudah kita lakukan, boleh-lah kita berharap obat anti AIDS/HIV ditemukan oleh manusia. Tapi selama hal di atas masih berupa wacana, apalagi masih jadi perdebatan, maka korban-korban akan terus berjatuhan, bukan hanya pelaku zina, tetapi azab itu akan terus menerus merenggut nyawa manusia yang tidak berdosa, lewat berbagai cara penularannya yang dahsyat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Euthanasia merupakan suatu hal yang menyimpang dari moral kemanusiaan. Hal
ini karena menyangkut terhadap hak hidup atau nyawa seseorang.Islam sebagai agama rahmatal lil alamin memiliki pandangan tersendiri akan
hal ini. Dari sudut pandang hkum Islam, diputuskan bahwa euthanasia aktif atau posiif
adalah haram hukumnya. Sedangkan hukum euthanasia pasif masih menjadi
perdebatan.
Tetapi berdasarkan beberapa litelatur yang telah dikaji, penulis menemukan
sebuah benang merah yang bisa ditarik yaitu hukum kondisional, artinya
euthanasia pasif (menghentikan pengobatan) pada orang yang secara medis tidak
tertolong lagi maka boleh hukumnya, mengingat penyakit yang diderita dan beban
yang ditanggung dirinya dan keluarga. Sedangkan pada orang yang secara medis
masih bisa diselamatkan, maka wajib diteruskan pengobatan. Wallahu a’lam.sedangkan
Akhirnya yang
sesungguhnya jadi musuh kita ternyata bukan virus HIV/AIDS, melainkan
barangkali malah teman-teman kita sendiri, yang sayangnya- otaknya sudah
dipenuhi dengan beragam virus porno ataupun seks yang tidak kita ketahui.
Sehinggga apapun yang berbau porno dan mengarah kepada perzinaan, pasti akan
dibelanya mati-matian. Sebaliknya, semua orang yang anti pornografi pasti di
caci dengan sebutan so alim astagfirulloh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anwar, Syamsul. 2007. Studi Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: RM Books
Syahrur, Muhammad. 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Sukses Offset.
Syahrur, Muhammad. 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Sukses Offset.
2. .http://www.euthanasia.com/
Harrah's Cherokee Casino & Hotel - Oyster Hotel Reviews
BalasHapusOyster.com secret investigators 슬롯 머신 규칙 tell all 여수 op 사이트 about Harrah's hitbet Cherokee 해외 라이브 스코어 Casino & 토토사이트리스트 Hotel. Browse photos and read real customer reviews.